Cari

Kamis, 20 Oktober 2011

Makalah

ABU ZAZID AL-BUSTOMI


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
Diampu Oleh Drs.Mufid Fadly M.Ag.






Disusun Oleh:
Suharifin
Nur Wahidah





FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURUAN 
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SAINS AL-QURAN JAWATENGAH 
DI WONOSOBO
2010














PENDAHULUAN

Abu Yazid al-Bustami, nama lengkapnya adalah Abu Yazid bin Isa bin Syurusan Al-Bustami. Dia lahir sekitar tahun 200 H (813 M) di Bustam, bagian Timur Laut Persia. Di Bustam ini pula ia meninggal dunia pada tahun 261 H (875 M); dan makamnya masih ada hingga saat ini banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri. Nasiri Khusraw dan Yaqut.
 Pada tahun 1313 M. didirikan di atanya sebuah kubah yang indah oleh seorang Sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah seoarang keturunan dari Bustam itu . Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad ketiga Hijriyah. Kakeknya Surusyan adalah seorang penganut agama Zoroaster, yang kemudian masuk Islam. Sedikit sekali orang mengetahui tentang sejarah hidupnya. Jika tidak ada pengarang seperti at-Attar, orang tidak mengenalnya sama sekali. Siapa Abu Yazid itu, beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-anekdot sufi belaka.Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam menurut mazhab Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang fana’ dari Abu Ali Sindi. Dia tidak meninggalkan tulisan, tetapi pengikut pengikutnyalah mengumpulkan ucapan/ajaran-ajarannya(Aboebakar Atjeh, 1984: 135-136). Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahaid itu adalah seoarang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah.Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak pengikut yang percaya kepada ajaran yang dibawanya. Pengikut- pengikutnya menamakannya Taifur. Kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga jika ditangkap secara lahir akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan antara Tuhan dengan manusia.Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus pencetus faham al-ittihād.




PEMBAHASAN

Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami


Irfan Abdul Hamid Fattah Mengatakan bahwa dalam sejarah perkembnagan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “kesatuan wujud” atau ittihad1 (Irfan Abdul Hamid Fattah,1973: 169). Perkembangan ajaran tasawauf ke arah ini digambarkan oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atheh sebagaiberikut:Lalu sampailah pada abad yang ke-III orang membicarakan latihan rohani, yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad ke-II ajaran sufi merupakan kezuhudan (asceticisme), dalam abad ke-III ini orang sudah meningkat kepada wusul dan ittihad dengan Tuhan (mistikisme). Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap tentang kecintaan, fana fil mahbub,bersatu dengan kecintaan, ittihād fil mahbub, bertemu dengan Tuhan, liqa’; dan menjadi satu dengan Dia. ‘ainul jama’ sebagai yang diucapkan oleh Abu Yazid Bisthami2 (Aboebakar Atheh, 1984:169).
Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan (al-ittihād), ia harus terlebih dahulu dapat menghancurkan dirinya melalui fana’. Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi senantiasa diiringi dengan baqa’. Apa yang disebut dengan fana’ dan baqa’itu?


1.Al-Fana’dan,Baqa’


Secara logawi, fana’ berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau tiada; dan baqa’ berarti tetap, kekal, abadi atau hidup terus (lawan dari fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanaya fana’ menunjukkan adanya baqa’. Dalam istilah R. A. Nicholson dikatakan:“Kelengkapan dan kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah kehidupan abadi di dalam wujud Tuhan (baqa)”. Hal ini memang dapat dilihat dari faham-faham sufi berikut:
*    Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah taqwanya.
*     Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk,tinggal baginya sifat-sifatyangbaik.
*    Siapayang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya sifat-sifat Tuhan.(HarunNasution,1973:80)


Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu al-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.Al-Qusyairi tentang ini mengatakan :Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluklain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya (Al-Qusyairi,t.th:37).Dr. Ibrahim Basyuni, setelah mengumpulkan beberapa definisi pengertian Fana adalah keadaan jiwa yang menghilangkan hubungan manusia dengan alam dan raganya, bukan menghilangkan wujud kemanusiaannya (Ibrahim Basyuni, t.th: 239).Dalam hal pengertian fana’ ini, di dunia tasawuf, kata Dr. Ibrahim Madkur berarti:Teori yang pada kesimpulannya menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa (Ibrahim Madkur, 1979:141). 
Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah fana’ kata Nicholson, memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :
a.     Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian nafsu dan keinginan.
b.     Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-Nya.
c.      Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana” atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’al-fana’) (R.A.Nicholson,1975:60-61).Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa, yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson,1975:61).
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai:“Fana, sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini, menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”.Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni, menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan” (Ibrahim Basyuni, t.th: 238).Abu Yazid al-Bustami, yang dalam sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan faham fana dan baqa ini mengartikan fana sebagai hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi (al-fana’ ‘an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan wujud-Nya (Team Penyusun Naskah,1981-1982:72).Jadi kalau seoarang sufi telah mencapai al-fana’ ‘an al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi yaitu kalau wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Dan kelihatannya persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana’ ‘an al-nafs.

2. Al-Ittihād


Dilihat dari sudut etimologi, ittihād (al-Ittihād) berarti peratuan,Dalam kamus sufisme berarti perasatuan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihād kelihatannya ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu (Harun Nasution, 1973: 82).Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernbah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat (Ibrahim Madkur,1979:2).
Ittihād itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham ittihād hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihād yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran(fana’)yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberianTuhan kepada seorang sufi (Nicholson, 1973: 218).
Sekarang kalau memang fana yang merupakan prasyarat untuk mencapai ittihād itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan diatas. Dalam Ittihād, kata A. R. al-Badawi seperti dikutip oleh Harun Nasution, yang dilihat hanya satu wujud, sunggu hpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihād bisa terjadi pertukaran peranan antara sufi dengan Tuhan (Harun Nasution, 1973: 82-83). Faham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fī al tauhīd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Uangkapan Abu Yazid tentang peristiwa mi’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan : Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat daku,mereka akan berkata : Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana (Abdul QadirMahmud,t.th:313).Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi prosesterjadinya ittihād. Dalam bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihād ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya :Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau(Harun Nasution,1973:85).

Selanjutnya Abu Yazid berkata : 
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku (Harun Nasution, 1973: 86).Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas ituseakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan,karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan :Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri dalam keadaan fana (Abdul Qadir Mahmud, t.th: 310).
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihād.






KESIMPULAN
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustani dipandang sebagai pencetus faham fana’, baqa’ dan ittihad, fana ‘ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam pencapaian ittihad. Dengan katalain, ittihad itu baru tercapai setelah melewati fana dan baqa.
Fana’ yang dimaksudkan disini ialah hilangnya kesadaran akan ujud dirinya (al-fana ‘an nafs) dan ujud alam sekelilingnya (al-fana ‘an al-Khaluq) hingga ia (sufi) tidak tahu bahwa dirinya dalam keadan fana’(al-fana ‘an Allah). Kerena seluruh aktivitas dan kesadarannya terkonsentrasi pada Allah, maka ia larut dalam kesadaran Allah (al-fana fi Allah) dan akhirnya pada saat itu yang ada dalam perasaannya hanyalah Allah (al-baqa bi Allah). Dalam keadaan demikian ia merasa dirinya telah bersatu dengan Allah (ittihad) Ittihad sebagai pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks kejiwaan, ia memiliki beberapa cirri yang harus diperhatikan oleh pengkajian tasawuf. Pro kontra faham ittihad harus dilihat dari sudut ini.Beberapa ciri pengalaman sufistik itu adalah:
1.     tidak bisa diungkap kepada orang yang belum mampu atau belum siap
menerimanya.
2.     memberikan pencerahan dan kesadaran baru yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan nalar intelik.
3.     pengalaman seperti itu hanya terjadi sebentar, paling lama hanya
berlangsung dua jam.
4.  terjadi kepasifan total dimana perasaannya butuh kedalam kesadaran
terhadap sesuatu yang menguasai dirinya.Pengalaman misik tertinggi memeng mengahasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi’, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan dlamir al-sya’n, yaitu kata “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syahadath pertama asyhadu al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia yang Maha Ada.



DAFTAR PUSTAKA

Atjeh, Aboebakar, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Ramadhani, Solo,1984.
Nasution, Harun, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang,Jakarta, 1973..
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.
Team Penyusun Naskah, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Binperta IAIN Sumatera Utara, Medan, 1981/1982.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar