Cari

Jumat, 21 Oktober 2011

Media Pembelajaran



FUNGSI MEDIA PEMBELAJARAN

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Media Pembelajaran PAI
Diampu Oleh:Bapak Taufik Windaryanto,M.Pd.








Disusun oleh:

1.Anisa Nur Eliva
2.Isnaini Wahyu Hidayati
3.Nurhayati
4.Suharifin





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL-QURAN JAWA TENGAH (UNSIQ)
DI WONOSOBO
2011



BAB I
PENDAHULUAN


Dalam dunia pendidikan bagi seorang guru apa yang disebut media pembelajaran /alat untuk membantu dalam proses pembelajaran adalah hal biasa, media bagi seorang guru sama fungsinya cangkul bagi seorang petani.Guru yang professional dalam setiap mengajar tidak cukup hanya dengan pandai atau cakap dalam menjelaskan suatu materi kepada anak didiknya namun juga harus diikuti dengan suatu keahlian bagaimana cara menggunakan media atau alat bantu untuk lebih efektifnya proses pembelajaran dengan arti apa yang disampaikan guru lebih mudah dicerna dan dipahami oleh anak didik sesuai dengan definisi pembelajaran yaitu upaya menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat dipermudah (facilitated) pencapaiannya (Dewi Salma P. Evelina S. 1997). Dalam pembelajaran selain dengan adanya alat bantu juga perlu dipilih strategi yang tepat agar agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.yang tentunya pada setiap kegiatan pembelajaran terlebih dahulu harus dirumuskan tujuan pembelajarannya. Tujuan pembelajaran harus bersifat “behavioral” atau berbentuk tingkah laku yang dapat diamati, dan “measurable” atau diukur artinya dapat dengan tepat dinilai apakah tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan pada awal kegiatan pembelajaran itu dapat dicapai atau belum.



BAB II
PEMBAHASAN


A.   Fungsi Media Pembelajaran

1.      Fungsi Media Pembelajaran Sebagai Sumber Belajar

Fungsi media pembelajaran sebagi sumber belajar adalah fungsi utamannya di samping adannya fungsi fungsi lain yang akan kita bahas di dalam makalah ini.
Seperti telah di singgung di atas, bahwa media pembelajaran adalah bahasanya baru. Maka untuk beberapa hal media pembelajaran dapat menggantikan fungsi guru terutama sebagai sumber belajar.
Mudhoffir dalam bukunya yang berjudul prinsip-prinsip pengelolaan sumber belajar (1992 : 1-2) menyebutkan bahwa sumber belajar pada hakekatnya merupakan komponen sistem instruksional yang meliputi pesan,orang, bahan, alat, tekhnik dan lingkungan ,yang mana hal itu dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Dengan demikian sumber belajar dapat dipahami sebagai segala macam sumber yang ada di luar diri seseorang dan mungkin memudahkan peroses belajar mengajar.


2.      Fungsi Semantik

Yakni kemempuan media dalam menambah perbendaharaan kata (sombol variabel) yang makna atau maksudnya benar-benar dipahami oleh anak didik.Bahasa meliputi lambang (simbol) dari isi. Yakni pikiran atau perasaan yamg keduanya telah menjadi totalitas pesan.yang tidak dapat dipisahkan.Unsur-unsur dasar dari bahasa itu adalah ”kata”. Simbol adalah suatu yang digunakan untuk dipandang sebagai wakil suatu lainnya. Bila simbol-simbol kata variabel tersebut hanya merujuk pada benda, maka masalah komunikasi akan menjadi masalah yang sederhana. Artinya guru tidak terlalu sulit untuk menjelaskan.

3.      Fungsi Manipulatif

Fungsi manipulatif ini didasarkan pada cirri-ciri (karakteristik) umum yang sebagai mana tersebut di atas. Berdasarkan karakteristik umum ini, media memiliki dua kemampuan, yakni mengatasi batas-batas ruang dan waktu. Dan mengatasi keterbatasan inderawi.
Pertama, kemampuan media pembelajaran yang mengatasi ruang dan waktu, yaitu :
a.       Kemampuan media dalam menghadirkan objek atau peristiwa yang sulit dihadirkan dalam bentuk aslinya.
b.      Kemampuan media menjadikan objek atau peristiwa yang menyita waktu panjang menjadi singkat.
c.       Kemampuan media dalam menghadirkan kembali objek atau peristiwa yang telah terjadi.
Kedua, kemampuan media pembelajaran dalam mengatasi keterbatasan inderawi manusia, yaitu :
a)      Membentu siswa memahami objek yang sulit diamati karena terlalu kecil, seperti molekul, atom, dan sel,
b)      Membentu siswa dalam memahami objek yang bergerak terlalu lambat atau terlalu cepat. Seperti proses metamorfosis .
c)      Membentu siswa dalam memahami objek yang membutuhkan kejelasan suara, seperti cara membeca Al-Qur’an sesuai dengan kaidah tajwid.
d)     Membantu siswa memahami objek yang terlalu kompleks, misalnya menggunakan diagram, peta, dan gerafik.

4.      Fungsi Psikologis

a.      Fungsi Atensi
Media pembelajaran dapat meningkatkan perhatian (attention) siswa terhadap materi ajar. Setiap orang memiliki sel saraf penghambat, yakni sel khusus yang berfungsi membuang sejumlah sensasi yang datang.Dengan adanya sel penghambat ini para siswa dapat memfokuskan
perhatiannya pada rangsangan yang di anggapnya menarik dan membuan
rangsangan yang lainnaya.
Dalam psikologi komunikasi, fenomena ini terjadi ketika kita memperhatikan rangsangan tertentu sambil membuang rangsangan yang lainnya disebut perhatian selektif (selectiv attention).

b.      Fungsi afektif
Fungsi afektif yakni menggugah perasaan, emosi, dan tingkatan penerimaan atau penolakan siswa terhadap sesuatu. Setiap orang memiliki gejala batin jiwa yang berisikan kualitas karakter dan kesadaran.ia berwujud pencurahan perasaan minat, dan sikap penghargaan, nilai-nilai,atau perangkat emosi dan kecenderungan kecenderuangan batin.

c.       Fingsi kognitif
Siswa yang belajar melalui media pembelajaran akan memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk reperensi yang mewakili objek-objek yang dihadapi, baik objek berupa orang, benda, atau kejadian/peristiawa.Objek-objek itu direperensikan atau di hadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang dalam psikologi semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental.
Belajar melalui peristiwa seperti darmawisata, ia mampu menceritakan pengalamannya selama melakukan kegiatan itu kepada temannya. Tempat-tempat yang ia kunjungi selama berdarmawisata tidak dibawa pulang, dirinya sendiri juga tidak hadir di tempat darmawisata itu saat ia bercerita pada temannya tersebut. Tetapi semua pengalaman tercatat di dalam benaknya.

d.      Fungsi imajinatif
Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengembangkan imajinatif siswa. Imajinatif dalam kamus lengkap psikologi adalah peroses menciptakan objek atau peristiwa tanpa pemenfaatan data sensoris.Imajinatif ini mencakup penimbulan atau kereasi objek-objek baru sebagai rencana di masa mendatang, atau dapat pula mengambil bentuk fantasi(khayal) yang didominasi kuat sekali oleh pikiran-pikiran autisik.

e.       Fungsi motivasi
Motivasi merupakan seni yang mendorong siswa untuk terdorong melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran tercapai.Dengan demikian motivasi merupakan usaha dari pihak luar dalam hal ini adalah guru untuk mendorong, mengaktifkan, menggerakkan siswanya
untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
Guru dapat memotivasi siswanya dengan cara membangkitkan minat belajarnya dan dengan cara memberikan dan menimbulkan harapan.Donald O. Hebb (aminnudin Rasyid 2003 : 93) menyebutkan cara pertama dalam arousal dan kedua dalam expectancy.
Pertama, aurosal adalah suatu usaha guru untuk membengkitkan intrinsic motivesiswannya.
Kedua expectancy adalah suatu keyakinan yangsecara seketika timbul untuk terpenuhi suatu harapan yang mendorong seseorag untuk melakukan kegiatan. Harapan akan tercapainnya hasratdan tujuan dapat menjadi motivasi yang di timbukan guru kedalam dirisiswa. Salah satu pemberian harapan itu yakni dengan cara memudahkansiswa, bahkan yang di anggap lemah sekalipun dalam memahami dan menerima isi pelajaran yaitu melalui pemanfaatan media pembelajaranyang tepat guna.

5.      Fungsi Sosial Kultural

Fungsi media pembelajaran dilihat dari social cultural, yakni mengatasi hambatan sosio cultural antar peserta komunikasi pembelajaran. Bukan hal yang mudah untuk memahami para siswa yang memiliki jumlah yang cukup banyak (paling tidak dalam satu kelas berjumlah 40 orang). Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda beda apa lagi dihubungkan dengan adab,keyakinan, lingkungan, pengalaman, dan lain-lain. Sedangkan dari pihak lain,kurikulum dan materi ajar ditentukan dan di lakukan secara sama untuk setiap siswa. Tentunya guru akan menghadapi kesulitan terlebih guru harus mengatasinya sendirian. Apalagi bila latar belakang dirinnya (guru) baik adat,budaya, lingkungan, dan pengalaman yang berbeda dari para siswannya. Hal ini dapat diatasi dengan media pembelajaran, karena media pembelajaran memiliki kemampuan dalam memberikan rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman, dan menimbulkan pesepsi yang sama.

B.   Kegunaan dan Manfaat Media Pembelajaran

Menurut Kemp dan Dayton dalam bukunya Azhar Arsyad (2002: 21) bahwa penggunaan media pembelajaran sebagai bagian integral pembelajaran di kelas atau sebagai cara utama pembelajaran langsung dapat menunujukkan dampak yang positif bagi pembelajaran yaitu sebagai berikut:
a)             Penyampaian pelajaran menjadi lebih baku,
b)             Pembelajaran bisa lebih menarik,
c)    Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan diterapkannya teori belajar dan prinsip-prinsip psikologis yang diterima dalam hal partisipasi siswa, umpan balik dan pengetahuan,
d)     Lama waktu pembelajaran yang diperlukan dapat dipersingkat kerana kebanyakan mdia hanya memerlukan waktu singkat untuk mengantarkan pesan dam isi pelajaran dalam jumlah yang cukup banyak dan kemungkinanya dapat diserap oleh siswa.
e)      Kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan bilamana integrasi kata dan gambar sebagai media pembelajaran dapat mengkomunikasikan elemen-elemen pengetahuan dengan cara yang terorganisasikan dengan baik, spesifik, dan jelas,
f)       Pembelajaran dapat diberikan kapan dan dimana diinginkan atau diperlukan terutama jika media pembelajaran dirancang untuk penggunaan secara individu,
g)      Sikap positif siswa terhadap apa yang mereka pelajari dan terhadap proses belajar dapat ditingkatkan.
h)      Peran guru dapat berubah kea rah yang lebih positif: beban guru untuk menjelaskan yang berulang-ulang mengenai isi pelajaran dapat dikurangi bahkan dihilangkan sehingga ia dapat memusatkan perhatian kepada aspek penting lain dalam proses belajar mengajar.

Sudjana dan Rivai dalam bukunya Azhar Arsyad (2002: 24) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu:

ü  Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar,
ü  Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran,
ü  Metode mengajar akan bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga tidak bosan da guru tidak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap pelajaran,
ü  Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab hanya mendengarkan uaraian guru, tetapi juga aktivitas lain sperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, memerankan, dan lain-lain.


BAB III
KESIMPULAN

          Berdasarkan atas beberapa fungsi media pembelajaran yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap alat-alat indera. Penggunaan media akan lebih menjamin terjadinya pemahaman dan retensi yang lebih baik terhadap isi pelajaran. Media pembelajaran juga mampu membangkitkan dan membawa pebelajar ke dalam suasana rasa senang dan gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental.
Dengan menggunakan media pendidikan dalam pembelajaran akan lebih mempunyai makna bagi berbagai kemampuan siswa baik kognitif, afektif ataupun psikomotoriknya, sehingga dengan penggunaan media pendidikan dalam proses belajar mempunyai dampak yang positif terhadap kemampuan siswa.Pemakaian media dalam proses pembelajaran akan dapat meningkatkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap siswa. Selain itu media juga berguna untuk membangkitkan gairah belajar, memungkinkan siswa belajar mandiri sesuai dengan minat dan kemampuannya.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad. Teori & Praktek Pembelajaran Pendidikan Dasar. 2007.
http://www.ahmadsudrajat.wordpress.com/media-pembelajaran-1/html
Sudiman Arif S.DR.M.Sc.dkk.Media Pendidikan.Raja Grafindo Persada:Jakarta.2006.


Mahabbah


MAHABBAH


Makalah Ini Disusun Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah
Pendidikan Agama Islam
Yang Diampu Oleh:Bpk. Ahmad Zuhdi,M.Ag.





Disusun Oleh:

Ahmad Jazuli
Doni Awaluddin
Suharifin



FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS SAINS AL-QURAN (UNSIQ) JAWA TENGAH
DI WONOSOBO
2010



PENDAHULUAN 
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri –yang notabene pembawa agama Islam– diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.1 
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya.

PEMBAHASAN

A.   PENGERTIAN
Mahabah artinya cinta, hal ini mengandung maksud cinta kepada tuhan lebih luas lagi bahwa mahabah memuat pengeratian yaitu:
a. Memeluk dan mematuhi perintah tuhan dan membenci sikap yang melawan pada tuhan
b. Berserah diri kepada tuhan
c. Menyongsong perasaan di hati dari segala-galanya kecuali dari zat yang dikasihi.

B.     DASAR-DASAR AJARAN MAHABBAH
1.      Dasar Syara’
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.2

a.              Dalil-dalil dalam al-Qur’an, misalnya sebagai berikut:

1)      QS. Al-Baqarah ayat 165
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB äÏ­Gtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# #YŠ#yRr& öNåktXq6Ïtä Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ©9$#ur (#þqãZtB#uä x©r& ${6ãm °! 3 öqs9ur ttƒ tûïÏ%©!$# (#þqãKn=sß øŒÎ) tb÷rttƒ z>#xyèø9$# ¨br& no§qà)ø9$# ¬! $YèÏJy_ ¨br&ur ©!$# ߃Ïx© É>#xyèø9$# ÇÊÏÎÈ
[2]“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”.

2)      QS. Al-Maidah ayat 54
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ÎAù'tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A'©!ÏŒr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨Ïãr& n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$# šcrßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# Ÿwur tbqèù$sƒs sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui”.

3)      QS. Ali Imran ayat 31
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “

b.      Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
للهِ لاَ يُحِبُّهُ الْمَرْءَ وَأَنْ يُحِبَّ سِوَاهُمَا مِمَّا إِلَيْهِ أَحَبَّ وَرَسُولُهُ أَنْ يَكُونَ اللهُ اْلإِيمَانِ حَلَاوَةَ وَجَدَ فِيهِ مَنْ كُنَّ ثَلَاثٌ 
النَّارِ فِي يُقْذَفَ أَنْ يَكْرَهُ كَمَا فِي الْكُفْرِ أَنْ يَعُودَ وَأَنْ يَكْرَهَ إِلاَّ

Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.   

الَّذِي سَمْعَهُ كُنْتُ أَحْبَبْتُهُ فَإِذَا أُحِبَّهُ حَتَّى بِالنَّوَافِلِ إِلَيَّ يَتَقَرَّبُ عَبْدِي يَزَالُ   ….. وَمَا
بِهَا … يَمْشِي الَّتِي وَرِجْلَهُ بِهَا يَبْطِشُ الَّتِي وَيَدَهُ بِهِ يُبْصِرُ الَّذِي وَبَصَرَهُ بِهِ يَسْمَعُ

.Tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunah kecuali
Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. …


أَجْمَعِين وَالنَّاسِ وَوَالِدِهِ وَلَدِهِ مِنْ إِلَيْهِ أَحَبَّ أَكُونَ حَتَّى أَحَدُكُمْ يُؤْمِنُ لاَ

Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.


2. Dasar Filosofis

Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut: 
a.       Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.3
b.      Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.  
c.       Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya. [3]
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:

a.       Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal  Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b.      Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
c.       Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan per se juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.
d.      Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.
e.       Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.

C.    MACAM-MACAM MAHABAH

Dalam Qur’an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:

a.       Mahabbah mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan“nggemesi”. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.
b.      Mahabbah rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut,siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibandingterhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sangkekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.

c.       Mahabbah mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail), cenderung mengabaikan kepada yang lama.
d.      Mahabbah syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf  ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
e.       Mahabbah ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah.
f.       Mahabbah shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilakupenyimpang tanpa sanggup mengelak.
g.      Mahabbah syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi darihadis yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba.
h.      Mahabbah kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positif meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu.

D.    RABI’AH AL-ADAWIYAH: PERINTIS TASAWUF CINTA

Sosok sufi perempuan ini sangat dikenal dalam dunia tasawuf. Ia hidup di abad kedua Hijriah, dan meninggal pada tahun 185 H. Meski ia hidup di Bashrah sebagai seorang hamba sahaya dari keluarga Atiq, hal itu tidak menghalanginya tumbuh menjadi seorang sufi yang disegani di zamannya, bahkan hingga di zaman modern sekarang ini.
Corak tasawuf Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi.” 4 
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.
C.    DOKTRIN-DOKTRIN MAHABBAH
1.      Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala milik-Nya tanpa rasa beban. 5
2.      Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
3.      Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis. Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
4.      Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta.
Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.6
[6]  
D.    PENGARUH DOKTRIN MAHABBAH
 Semenjak Rabi’ah al-Adawiyah mengungkapkan corak tasawuf melalui puisi, prosa, atau dialognya, ajaran cinta ilahi (mahabbah) pun mulai menjadi tema menarik di kalangan tasawuf. Gambaran tentang Tuhan pun tidak lagi begitu menakutkan seperti sebelumnya. Tuhan seolah menjadi lebih dekat dan lebih “manusiawi”.
Pada perkembangan tasawuf selanjutnya, mahabbah selalu menjadi tema yang mendapat pembahasan secara khusus. Para sufi pun banyak yang membahas lebih mendalam tentang tema ini dalam karya-karya mereka, seperti al-Hujwairi dengan Kasyf al-Mahjub, ath-Thusi dengan al-Luma’, al-Qusyairi dengan ar-Risalah al-Qusyairiyyah, al-Ghazali dengan Ihya Ulumiddin, Ibnu Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyah, dan lain-lain.
Pada bidang puisi, banyak para sufi yang juga sekaligus penyair yang kemudian menyenandung cinta ilahi, seperti Abu Sa’id bin Abi al-Khair, al-Jilli, Ibnu al-Faridh, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Hingga sekarang, para penyair sufi kontemporer masih banyak yang menyenandungkan puisi-puisi cinta ilahi, seperti Syekh Fattah yang membentuk kelompok musik Debu yang kini ada di Indonesia.


KESIMPULAN

Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat, seperti puisi yang didengungkan oleh Ibnu Arabi di awal makalah.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari penelitian yang pernah dilakukan penulis, term-term cinta yang ditampilkan Alquran justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial.Karena itu tidaklah mengherankan jika di akhir abad 19 hingga awal abad 20, beberapa kelompok sufi di Afrika Utara menjadi pendorong perlawanan terhadap penjajahan Barat.


DAFTAR PUSTAKA

Barnawi Umari Material Akhlak” 1967; Ramadhani Semarang.
Hamka, Prof, Dr, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya” 1980. Nurul Islam. Jakarta.
Mustofa, Drs”Akhlak Tasawuf” 1997; Pustaka Setia . Bandung.




[1] Lihat, penjelasan al-Ghazali tentang hal ini dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt), juz IV, hal. 293 dan seterusnya. 
[2].Lihat kajian tentang sumber-sumber tasawuf dan tudingan para orientalis, misalnya, dalam Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 22-34.
[3] Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, op. cit., juz 4, hal. 296-300.
[4] Al-Taftazani., Sufi dari Zaman ke Zaman., op. cit., hal. 86.
[5] Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi, at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tashawwuf, (tk.: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1969), hal. 130.
[6] Ibid., hal. 88.
[7] Abdurrasyid Ridha, Memasuki Makna Cinta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 160.